Sabtu, 03 Desember 2011

KEDAULATAN PANGAN & NASIB PERTANIAN INDONESIA

"Kolonialisasi lama hanya merampas tanah,
sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan"
(Vandana Shiva)

PERTANIAN INDONESIA SAAT DIDIKTE IMF & WORLD BANK
Selama 20 tahun terakhir, pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan tersebut berada di bawah arahan dan dikte dua lembaga keuangan internasional yaitu IMF dan Bank Dunia. Beberapa bentuk kebijakan yang telah diambil antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah). Naiknya harga berbagai bahan pangan dalam kenyataannya relatif tidak membawa keuntungan bagi petani. Nilai tambah dari kondisi membaiknya harga bahan pangan ternyata dinikmati oleh kaum pedagang. Penelitian Analisis Rantai Pemasaran Beras Organik dan Konvensional: Studi Kasus di Boyolali Jawa Tengah (Surono-HIVOS, 2003) menunjukkan bahwa pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan (huller), pedagang besar dan pedagang pengecer. Yang lebih memprihatinkan, sejak program Raskin diluncurkan pemerintah, petani adalah pihak yang paling banyak menjadi penerima tetap beras Raskin.
Sisi gelap bantuan modal asing melalui lembaga mesin pemiskinan negara dunia ketiga oleh IMF dan bank dunia melalui “bantuan” dan penanaman modal asing. Seperti yang diamati oleh Hancock, proses pemiskinan di dunia ketiga dimungkinkan berkat kolusi antara “pangeran pencipta kemiskinan” dan penguasa-penguasa dunia ketiga. Menurut mahzab ketergantungan (dependency theory) Gunder Frank di tahun 1970-an, sudah menunjukkan peran kaum borjuis nasional, yang tidak malu-malu menjadi calo modal asing, sambil memperkaya diri, keluarga, dan golongan mereka sendiri. Para pengikut mahzab ini menyebut mereka ”kelas komprador domestik”. Mereka terdiri dari segelintir pengusaha top, atau ‘komprador swasta’ dan sejumlah ‘komprador negara’ (para pejabat tinggi, politisi dan perwira-perwira tinggi yang bertanggung jawab atas penyiapan kontrak-kontrak dan transaksi-transaski keuangan pemerintah untuk maskapai-maskapai asing) (Hancock 2005: xv).
Dalam pengantar buku dewa-dewa pencipta kemiskinan yang ditulis George J. Aditjondro. Komprador di indonesia sudah ter-antekkan IMF dan world bank melalui RI-1 di era kepemerintahan Soeharto. Menurut rilisan majalah Time dalam laporan utamanya tentang Soeharto edisi 24 Mei 1999, keluarga RI-1 ini telah mengeruk sekitar 73 milyar dollar AS di masa kekuasaannya, dan ditaksir masih memiliki 15 milyar dollar AS sewaktu Soeharto digusur dari singgasanannya (lihat Hancock 2005:xvi), kaitannya komprador ini dengan pertanian indonesia adalah para petani ibu pertiwi ini digencet pasarnya oleh gandum AS. “kerjasama” pembangunan pangan AS kepada Indonesia, setelah Indonesia diamankan buat arus modal negara-negara barat, berkat penumpasan semua gerakan radikal-buruh, tani, nelayan, pemuda, cendekiawan, seniman-yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Siapa yang diuntungkan dari politik impor gandum subsidi dari AS adalah berdirilah suatu imperium pangan, yang berhulu di penggilingan gandum PT Bogasari dan berhilir di industri mie instant di bawah bendera PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Di mana hal ini salah satu program “kerjasama” Indonesia dengan negara-negara penghutang yang melibatkan berbagai maskapai asing yang berkongsi dengan keluarga dan kroni Soeharto. Di titik kluminasinya, bantuan bahan pangan ini sebenarnya dipaksakan untuk dipasarkan di Indonesia, pada rentetan pemiskinan melalui kebijakan bisnis bantuan bahan pangan, mampu secara efektif membuat negara-negara sedang berkembang kecanduan pada hasil pertanian negara-negara barat.
Dalam kasus yang demikian secara jelas mampu menghancurkan setiap hasil pertanian di negara-negara sedang berkembang. Selain itu, bantuan pangan ini juga bisa menciptakan kecanduan terhadap bahan pangan asing, yang harus dibayar mahal. Dan lebih parah, bantuan pangan juga memperlemah dorongan untuk melakukan ekspor hasil-hasil pertanian seperti jagung dan beras karena AS telah memperluas wilayah perdagangannya untuk hasil-hasil pertanian seperti itu. Dengan demikian, petani ibu pertiwi semakin menangis kelaparan karena hasil dari petani ibu pertiwi ini tergantikan oleh impor bahan pangan dari luar.

NASIB PERTANIAN INDONESIA
Umumnya penyebab krisis pangan yang terjadi adalah pertambahan penduduk, kerusakan lingkungan, konversi lahan & penuruan kualitas lahan pertanian, tingginya harga bahan bakar fosil perubahan pola konsumsi, pemanasan global & perubahan iklim serta kebijakan lembaga keuangan internasional & negara maju. Sebenarnya Indonesia belum dapat berdaulat secara pangan itu dapat terbukti beberapa komoditas pangan yang masih diimpor :
No Nama Komoditas Kebutuhan / Tahun
1 Beras 2 juta ton
2 Kedelai 1,2 juta ton
3 Gandum 5 juta ton
4 Kacang Tanah 800 ribu ton
5 Kacang Hijau 300 ribu ton
6 Gaplek 900 ribu ton
7 Sapi 600 ribu ekor
8 Susu 964 ribu ton (70 %)
Diolah dari berbagai sumber
Melihat dari data diatas, maka terdapat beberapa faktor perangsang kebijakan impor pangan : 1. Kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2. harga di pasar international yang rendah, 3. produksi dalam negeri yang tidak mencukupi, 4. adanya bantuan kredit impor dari negara Eksportir.
BELUM BERDAULAT PANGAN
Dilematisasi petani semakin berat karena secara harfiahnya petani sebagai basis kekuatan negara pertanian seperti Indonesia tidak dapat berdikari di tanah yang subur, dan malah menjadi konsumen yang teraniaya oleh komoditas pertanian impor, maka tidak dapat disangkal bahwa petani Indonesia semakin miskin. Ditambah perparah lagi dengan kondisi saat ini di Indonesia adalah :
• Kemampuan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri, relatif telah dan sedang menurun dengan sangat besar.
• Pada waktu ini Indonesia berada dalam keadaan "Rawan Pangan" bukan karena tidak adanya pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia sudah tergantung dari Supply Luar Negeri, dan ketergantungannya semakin besar.
• Pasar pangan amat besar yang kita miliki diincar oleh produsen pangan luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan.
Pemerintah sebagai decision maker, telah didikte oleh lembaga bantuan asing seperti halnya IMF dan bank dunia melalui jargon pembangunannya yaitu bantuan permodalan, sesungguhnya merupakan langkah pihak luar yang tidak ingin Indonesia berdikari dan berdaulat secara pangan, karena kita sebagai bangsa yang subur akan kekayaan alam menjadi target asing untuk dikeroposkan oleh intervensi pihak asing melalui regulasi pemerintah yang pada ujungnya menguntungkan secara komersial pihak luar, parahnya lagi itu diizinkan oleh para komprador-komprador bangsa ini yang menjelma bak malaikat pembantu untuk menerima segala bentuk bantuan asing yang intinya untuk mengrogotin emas hitam, hijau dan putih Indonesia. Diperparah lagi dengan adanya pasar bebas, tidak menutup kemungkinan antek-antek kapitalis asing semakin menjadi raja di tanah ibu pertiwi.
Baru-baru ini dalam harian yang dimuat Kompas kamis 3 November 2011, terjadi krisis lahan pertanian pangan. Menurut ketua umum kontak tani nelayan andalan Winarno, BPS menghitung luas lahan baku pangan 2002 seluas 7,75 juta hektar. Dengan laju konversi lahan 110.000 hektar per tahun, dalam waktu sembilan tahun (2011) lahan baku tinggal 6,76 juta hektar. Dengan kata lain, setiap tahunnya petani yang beralih menanam padi ke tanaman nonpadi seperti hortikultural, tebu, karet, dan kelapa sawit. BPS memperkirakan produksi padi 2011 dalam angka ramalan III 65,39 juta ton gabah kering giling. Turun 1,08 juta ton dibanding produksi 2010, atau 2,67 juta ton dibanding aram II. Ini artinya petani tidak lagi ingin menanam padi baku atau pangan jika hasilnya selalu digerus oleh maraknya impor pertanian pangan dari luar sehingga banyak petani yang beralih lahan pertanian ke nonpadi yang secara pasar dapat menguntungkan, akhirnya Indonesia akan mengalami krisis bahan pangan akibat maraknya impor pangan dan konversi lahan ke nonpadi.
BARU SADAR!!!!
Dalam harian yang sama, mengenai impor sayur dan buah akan diatur, daya saing produk lokal rendah, kementerian perdagangan bersama kementerian pertanian tengah menggondok aturan impor hortikultural. Aturan tersebut dibuat karena selama ini tidak ada ketentuan yang mengaturnya sehingga impor tidak terkendali. Untuk merealisasikan aturan baru tersebut dibutuhkan kelengkapan data penunjang. Penggalan dari berita tersebut menggambarkan pemerintah keteteran setelah serangan secara masif oleh produk-produk pertanian sayur dan buah impor, jelas pemerintah sebenarnya belum mampu untuk melindungi petani-petani dalam negeri, faktanya sebenarnya kualitas hasil pertanian indonesia tidak kalah dari pertanian impor tetapi pemerintah tampak lamban untuk memproteksi dan baru sadar ketika hasil pertanian sayur dan buah diserang oleh hasil pertanian impor, alasannya masih klasik yaitu produk pertanian lokal belum mampu bersaing dengan produk pertanian impor. Hal ini diakibatkan oleh tidak ada jaminannya dari pemerintah untuk memproteksi pertanian lokal terhadap serangan pertanian impor, dampaknya petani banyak yang mengalihkan lahan pertanian ke lahan nonpertanian, petani kehilangan mata pencarian dan putus asa karena hasil pertaniannya tidak dihargai dengan rasional ekonomi, serta semakin membabi butanya impor pertanian yang dilakukan oleh pemerintah.
Intinya, Pasar pangan amat besar yang kita miliki diincar oleh produsen pangan luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan. Indonesia target pasar empuk kapitalis melalui neoliberalisme regulasi.
***

Referensi
Hancock, Graham. 2005. “Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan”. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Fakih, Mansour. 2011. “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Todaro, Michael P. 2000. “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Jakarta : Erlangga.
Harian Kompas edisi Kamis 3 November 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar