Sabtu, 03 Desember 2011

Kampus “Jadi Arena Pamer Merek Bukan Lagi Arena Adu Intelektual”

Kampus seharusnya menjadi tempat bagi mahasiswa untuk beradu intelektual dalam rangka memajukan bangsa tetapi itu hanya sebuah kiasan yang miris, terbukti tidak semua kampus sekarang sebagai sarang kaum intelek, tetapi menjadi arena ajang pamer merek. Mungkin ini bukan gambaran dari semua kampus yang ada di tanah air, tetapi ini mungkin ada dan terjadi di sekitar kita atau malah kita yang menjadi aktor pamer merek itu. Tak pelak kampus hanya sebagai arena untuk menunjukkan siapa yang kaya dan siapa yang miskin bukan siapa yang berkapasitas dengan intelektualnya.
Kehidupan kampus tidak pernah lepas dengan gaya hidup mahasiswanya, gaya hidup yang hanya memuja dari sebuah merek yang dipakai, gaya hidup yang hanya syarat akan simbolis dari manifestasi kekayaan harta orang tua, dan gaya hidup penuh pamer dengan nilai tukar sosialnya, apa maksudnya dengan gaya hidup pamer syarat dengan nilai tukar sosialnya?? Kebanyakan mahasiswa sekarang syarat dengan gaya pakaian fashion mahal, mobil mahal, gadget canggih dan laptop canggih bin mahal. Itu semua hanya sebagai ajang untuk mengaktualisasikan eksistensinya di lingkungan sosial termasuk di lingkungan kampus, agar diakui sebagai mahasiswa yang tidak ketinggalan jaman atau jadul. Merek-merek yang melekat secara abstrak telah memberikan sinyal simbol (Status, kelas dan prestise) dari kalangan mana kita berada, tongkrongan dengan mobil mewah dan pakaian merek luar, jelas itu menunjukkan dari kalangan atas alias orang kaya raya, dari hal itu makna simbol yang melekat dari mereka menunjukkan nilai tukar sosial, nilai yang menunjukkan dari secara status sosial antara si kaya dan si miskin.
Namun gaya hidup yang ada di kampus tidak terlepas dari lingkungan kampus yang melegitimasi dari nilai-nilai tukar sosial itu, seperti halnya Dosen yang mengajar pun tidak ingin ketinggalan dengan gaya hidup konsumsi merek sehingga mahasiswa pun kadang kala mendapatkan contoh dari yang menjadi panutannya. Sebenarnya kita sebagai konsumen merek sering kali terbuai dengan iklan-iklan yang di kemas oleh kaum korporat untuk tidak hanya sebagai barang dengan nilai guna tetapi telah mensulapnya dengan nilai tukar sosial syarat makna.
Gaya hidup pamer merek itu tidak terlepas dari pola hidup yang konsumtif, misalnya kebutuhan gadget haruslah disesuaikan dengan skala keuangan yang lebih bijaksana dan rasional, bukan atas pilihan gaya, trend, dan sebagainya. Kemudian kebutuhan pakaian dan fashion umumnya, dapat dipenuhi dengan pakaian yang cukup melindungi tubuh dan sesuai dengan selera uang, bukan nafsu berpakaian yang disandarkan pada manisnya bujuk rayu iklan. Sebenarnya kita merasakan dan terlebih mungkin kita adalah aktor yang terus mereproduksi gaya hidup pamer merek sehingga semakin kentara perbedaan antara si kaya dan si miskin, maka hal itu menjadi sebuah batu sandungan dari beberapa mahasiswa yang kurang beruntung, ingin menuntut eksistensi jati dirinya di lingkungan yang penuh dengan gaya hidup pamer melalui klepto atau mencuri.
Sebenarnya gaya hidup yang demikian adalah gaya hidup yang menonjolkan pemborosan, betapa tidak sering kali kita tertawa riang dengan apa yang kita pakai tanpa melihat raut sedih dan pahit bagi mereka yang tidak mampu, jelas ini menunjukkan strata kelas sosial yang tajam. Kampus seharusnya menjadi ajang arena bagi mahasiswa untuk menunjukkan kapasitas intelektualnya bukan sebagai arena pamer merek, namun apa yang mau dikata, itu benar-benar terjadi. Kampus seharusnya menjadi tempat bagi kaum intelektualnya menunjukkan kesederhanaan serta kebijaksanaan ibarat pepatah “semakin berisi padi semakin merunduk”, artinya kampus sebagai sarang bagi kaum yang terdidik yang senantiasa dengan kesederhanaan menjadi garda depan untuk pembangunan terlebih menjadi lokomotif masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, tidak menjadi tempat untuk menunjukkan siapa yang kaya dan siapa yang miskin.
Tetapi apa yang diharapkan kadang kala berbeda dengan yang ada di kenyataan, korporat-korporat melalui kekuatan iklan yang penuh dengan tipu daya itu selalu memberikan motivasi lebih dari barang yang di tawarkan, seperti halnya Menurut Mike Featherstone, dalam perspektif teori produksi konsumsi dipremiskan dengan ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya materi dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Akumulasi barang telah mengakibatkan kemenangan nilai tukar (exchange value) terhadap nilai guna (use value) dari suatu benda sehingga pada intinya ketika dominasi nilai tukar menghapus ingatan tentang nilai guna dari suatu benda, maka komoditas menjadi bebas mengambil nilai guna sekunder atau nilai guna semu. Dengan demikian, komoditas bebas mengambil berbagai macam asosiasi dan ilusi budaya, periklanan secara khusus mampu mengeksplotasi kondisi ini dan memberikan image-image percintaan, nafsu gaya hidup mewah, kecantikan, dan pemenuhan kebutuhan lainnya.
Prinsipnya kebutuhan konsumen tidak terbatas dan tidak pernah terpuaskan, dalam hal ini, pengalaman aktor (mahasiswa pamer merek) erat kaitannya dengan gaya hidup yang konsumtif. Gaya hidup yang dapat dikategorikan sebagai gaya hidup yang hanya memuja kesenangan diatas penderitaan orang-orang yang tidak mampu. Namun itulah sebuah kisah nyata dari dinamika kehidupan di sekitar kita, kita tidak dapat mengelak dan bersembunyi, atau mungkin kita menjadi salah satu dari manusia “makan merek” itu. Dan lebih di pertegas lagi, kampus bukan menjadi ajang panggung untuk menunjukkan siapa yang kaya dan siapa yang miskin, tetapi kampus harusnya menjadi ajang tempat bertarungnya intelektual-intelektual muda guna membangun bangsa.
Dengan demikian, kita sebagai bagian dari dunia kampus, khususnya mahasiswa, jangan seringkali kita mendahulukan nafsu gaya hidup yang konsumtif tetapi kita harus mengedepankan rasional hidup, karena hidup bukan untuk ajang pamer simbol tetapi hidup untuk berbuat yang lebih baik, jangan lagi kampus dijadikan tempat untuk melihat pamer status, prestise dan kelas sosial. Kita harus sadar bahwa masih banyak di sekitar kita yang hidup dengan penderitaan ekonomi, jangan lagi kita budayakan gaya hidup yang hanya pamer merek tetapi buatlah hidup ini lebih bermakna untuk orang lain. kampus harus menjadi tempat yang benar-benar mengedepankan kesederhanaan dari kaum intelektual bangsa yang mapan.

3 komentar:

  1. mudah mudahan sebagian mahasiswa tetap mengutamakan intelektual mereka dari pada dunia glamour..amiin

    BalasHapus
  2. join blogku ya brow, ak uda join di blog ini

    BalasHapus