Selasa, 06 Desember 2011

Faktor Penyebab Autisitas Sosial

Autisitas sosial merupakan gejala di mana dia membentuk dunia sosialnya menurut dirinya sendiri, tidak ada nilai-nilai aturan dan norma yang mengaturnya. Individu itu tidak tersosialisasikan nilai-nilai dan norma dengan baik.
Arus globalisasi yang terimplikasi pada perkembangan teknologi dan informasi modern membuat dunia tanpa ruang, orang tidak perlu untuk berinteraksi face to face tetapi telah termediakan melalui modernitas komunikasi yaitu internet. Dunia tanpa ruang telah memangkas arti sebuah jarak dan waktu, sehingga dunia luas dapat terlihat melalui jendela monitor baik itu handphone, komputer ataupun laptop. Interaksi dimaknai sebagai suatu hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok, interaksi yang berkualitas hanya dapat melalui proses face to face langsung mendalam dan intens.
Pergeseran nilai dari sebuah interaksi yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi telah membuat masyarakat semakin individualistik, masyarakat semakin terasing dari lingkungan kolektifnya. Sekarang media menjadi tirani baru. Orang tekunkungkung dalam sangkar besi, berjam-jam menatap monitor, senyum sendiri dan akhirnya menjadi autis. Autisme sosial menghinggapi sekarang. Autisitas dalam hidup telah menggejala dan akhirnya jarang lagi menyapa atau berinteraksi face to face. Bertemu hanya di ruang maya setelah itu sibuk dengan dunia masing-masing. Dunia realitas yang dibuat media (facebook, twitter dan media maya lainnya) menggantikan realitas yang seharusnya.
Pergeseran nilai interaksi face to face juga terlegitimasi oleh pranata sosial yaitu keluarga, keluarga sebagai pranata sosial yang menjalankan fungsinya sebagai afeksi, proteksi, kasih sayang, dan ekonomi. Perubahan dari extended family ke nuclear family telah menghilangkan nilai sosialisasi dalam lingkungan, hilangnya peran ayah dan ibu akibat perkerjaan membuat anak-anak terasing dari lingkungannya, fungsi kasih sayang keluarga kepada anak kemudian disulap dengan kelengkapan fasilitas yaitu handphone, internet di rumah dan video game telah membuat anak-anak kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi yang akibatnya anak menghabiskan waktu sendiri tanpa berinteraksi dengan dengan dunia lingkungannya, pada titik tertingginya anak-anak akan menjadi individualistik tidak memahami hidup berkelompok dan terinternalisasikan menjadi prilaku yang menurut pandangannya biasa, atau terciptanya dunia sosial menurut dirinya sendiri. Dan kemudian ini yang dapat disebut sebagai autisitas sosial.
Akhirnya anak-anak menciptakan dunianya sendiri tanpa harus berinteraksi langsung dengan lingkungan, akibatnya anak-anak tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial, menjadi individual, hilangnya kolektifitas serta canggung menghadapi orang lain ketika interaksi face to face langsung, dan akhirnya autisitas sosial pada individu tidak dapat terelakkan.

Sabtu, 03 Desember 2011

KEDAULATAN PANGAN & NASIB PERTANIAN INDONESIA

"Kolonialisasi lama hanya merampas tanah,
sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan"
(Vandana Shiva)

PERTANIAN INDONESIA SAAT DIDIKTE IMF & WORLD BANK
Selama 20 tahun terakhir, pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan tersebut berada di bawah arahan dan dikte dua lembaga keuangan internasional yaitu IMF dan Bank Dunia. Beberapa bentuk kebijakan yang telah diambil antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah). Naiknya harga berbagai bahan pangan dalam kenyataannya relatif tidak membawa keuntungan bagi petani. Nilai tambah dari kondisi membaiknya harga bahan pangan ternyata dinikmati oleh kaum pedagang. Penelitian Analisis Rantai Pemasaran Beras Organik dan Konvensional: Studi Kasus di Boyolali Jawa Tengah (Surono-HIVOS, 2003) menunjukkan bahwa pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan (huller), pedagang besar dan pedagang pengecer. Yang lebih memprihatinkan, sejak program Raskin diluncurkan pemerintah, petani adalah pihak yang paling banyak menjadi penerima tetap beras Raskin.
Sisi gelap bantuan modal asing melalui lembaga mesin pemiskinan negara dunia ketiga oleh IMF dan bank dunia melalui “bantuan” dan penanaman modal asing. Seperti yang diamati oleh Hancock, proses pemiskinan di dunia ketiga dimungkinkan berkat kolusi antara “pangeran pencipta kemiskinan” dan penguasa-penguasa dunia ketiga. Menurut mahzab ketergantungan (dependency theory) Gunder Frank di tahun 1970-an, sudah menunjukkan peran kaum borjuis nasional, yang tidak malu-malu menjadi calo modal asing, sambil memperkaya diri, keluarga, dan golongan mereka sendiri. Para pengikut mahzab ini menyebut mereka ”kelas komprador domestik”. Mereka terdiri dari segelintir pengusaha top, atau ‘komprador swasta’ dan sejumlah ‘komprador negara’ (para pejabat tinggi, politisi dan perwira-perwira tinggi yang bertanggung jawab atas penyiapan kontrak-kontrak dan transaksi-transaski keuangan pemerintah untuk maskapai-maskapai asing) (Hancock 2005: xv).
Dalam pengantar buku dewa-dewa pencipta kemiskinan yang ditulis George J. Aditjondro. Komprador di indonesia sudah ter-antekkan IMF dan world bank melalui RI-1 di era kepemerintahan Soeharto. Menurut rilisan majalah Time dalam laporan utamanya tentang Soeharto edisi 24 Mei 1999, keluarga RI-1 ini telah mengeruk sekitar 73 milyar dollar AS di masa kekuasaannya, dan ditaksir masih memiliki 15 milyar dollar AS sewaktu Soeharto digusur dari singgasanannya (lihat Hancock 2005:xvi), kaitannya komprador ini dengan pertanian indonesia adalah para petani ibu pertiwi ini digencet pasarnya oleh gandum AS. “kerjasama” pembangunan pangan AS kepada Indonesia, setelah Indonesia diamankan buat arus modal negara-negara barat, berkat penumpasan semua gerakan radikal-buruh, tani, nelayan, pemuda, cendekiawan, seniman-yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Siapa yang diuntungkan dari politik impor gandum subsidi dari AS adalah berdirilah suatu imperium pangan, yang berhulu di penggilingan gandum PT Bogasari dan berhilir di industri mie instant di bawah bendera PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Di mana hal ini salah satu program “kerjasama” Indonesia dengan negara-negara penghutang yang melibatkan berbagai maskapai asing yang berkongsi dengan keluarga dan kroni Soeharto. Di titik kluminasinya, bantuan bahan pangan ini sebenarnya dipaksakan untuk dipasarkan di Indonesia, pada rentetan pemiskinan melalui kebijakan bisnis bantuan bahan pangan, mampu secara efektif membuat negara-negara sedang berkembang kecanduan pada hasil pertanian negara-negara barat.
Dalam kasus yang demikian secara jelas mampu menghancurkan setiap hasil pertanian di negara-negara sedang berkembang. Selain itu, bantuan pangan ini juga bisa menciptakan kecanduan terhadap bahan pangan asing, yang harus dibayar mahal. Dan lebih parah, bantuan pangan juga memperlemah dorongan untuk melakukan ekspor hasil-hasil pertanian seperti jagung dan beras karena AS telah memperluas wilayah perdagangannya untuk hasil-hasil pertanian seperti itu. Dengan demikian, petani ibu pertiwi semakin menangis kelaparan karena hasil dari petani ibu pertiwi ini tergantikan oleh impor bahan pangan dari luar.

NASIB PERTANIAN INDONESIA
Umumnya penyebab krisis pangan yang terjadi adalah pertambahan penduduk, kerusakan lingkungan, konversi lahan & penuruan kualitas lahan pertanian, tingginya harga bahan bakar fosil perubahan pola konsumsi, pemanasan global & perubahan iklim serta kebijakan lembaga keuangan internasional & negara maju. Sebenarnya Indonesia belum dapat berdaulat secara pangan itu dapat terbukti beberapa komoditas pangan yang masih diimpor :
No Nama Komoditas Kebutuhan / Tahun
1 Beras 2 juta ton
2 Kedelai 1,2 juta ton
3 Gandum 5 juta ton
4 Kacang Tanah 800 ribu ton
5 Kacang Hijau 300 ribu ton
6 Gaplek 900 ribu ton
7 Sapi 600 ribu ekor
8 Susu 964 ribu ton (70 %)
Diolah dari berbagai sumber
Melihat dari data diatas, maka terdapat beberapa faktor perangsang kebijakan impor pangan : 1. Kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2. harga di pasar international yang rendah, 3. produksi dalam negeri yang tidak mencukupi, 4. adanya bantuan kredit impor dari negara Eksportir.
BELUM BERDAULAT PANGAN
Dilematisasi petani semakin berat karena secara harfiahnya petani sebagai basis kekuatan negara pertanian seperti Indonesia tidak dapat berdikari di tanah yang subur, dan malah menjadi konsumen yang teraniaya oleh komoditas pertanian impor, maka tidak dapat disangkal bahwa petani Indonesia semakin miskin. Ditambah perparah lagi dengan kondisi saat ini di Indonesia adalah :
• Kemampuan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri, relatif telah dan sedang menurun dengan sangat besar.
• Pada waktu ini Indonesia berada dalam keadaan "Rawan Pangan" bukan karena tidak adanya pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia sudah tergantung dari Supply Luar Negeri, dan ketergantungannya semakin besar.
• Pasar pangan amat besar yang kita miliki diincar oleh produsen pangan luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan.
Pemerintah sebagai decision maker, telah didikte oleh lembaga bantuan asing seperti halnya IMF dan bank dunia melalui jargon pembangunannya yaitu bantuan permodalan, sesungguhnya merupakan langkah pihak luar yang tidak ingin Indonesia berdikari dan berdaulat secara pangan, karena kita sebagai bangsa yang subur akan kekayaan alam menjadi target asing untuk dikeroposkan oleh intervensi pihak asing melalui regulasi pemerintah yang pada ujungnya menguntungkan secara komersial pihak luar, parahnya lagi itu diizinkan oleh para komprador-komprador bangsa ini yang menjelma bak malaikat pembantu untuk menerima segala bentuk bantuan asing yang intinya untuk mengrogotin emas hitam, hijau dan putih Indonesia. Diperparah lagi dengan adanya pasar bebas, tidak menutup kemungkinan antek-antek kapitalis asing semakin menjadi raja di tanah ibu pertiwi.
Baru-baru ini dalam harian yang dimuat Kompas kamis 3 November 2011, terjadi krisis lahan pertanian pangan. Menurut ketua umum kontak tani nelayan andalan Winarno, BPS menghitung luas lahan baku pangan 2002 seluas 7,75 juta hektar. Dengan laju konversi lahan 110.000 hektar per tahun, dalam waktu sembilan tahun (2011) lahan baku tinggal 6,76 juta hektar. Dengan kata lain, setiap tahunnya petani yang beralih menanam padi ke tanaman nonpadi seperti hortikultural, tebu, karet, dan kelapa sawit. BPS memperkirakan produksi padi 2011 dalam angka ramalan III 65,39 juta ton gabah kering giling. Turun 1,08 juta ton dibanding produksi 2010, atau 2,67 juta ton dibanding aram II. Ini artinya petani tidak lagi ingin menanam padi baku atau pangan jika hasilnya selalu digerus oleh maraknya impor pertanian pangan dari luar sehingga banyak petani yang beralih lahan pertanian ke nonpadi yang secara pasar dapat menguntungkan, akhirnya Indonesia akan mengalami krisis bahan pangan akibat maraknya impor pangan dan konversi lahan ke nonpadi.
BARU SADAR!!!!
Dalam harian yang sama, mengenai impor sayur dan buah akan diatur, daya saing produk lokal rendah, kementerian perdagangan bersama kementerian pertanian tengah menggondok aturan impor hortikultural. Aturan tersebut dibuat karena selama ini tidak ada ketentuan yang mengaturnya sehingga impor tidak terkendali. Untuk merealisasikan aturan baru tersebut dibutuhkan kelengkapan data penunjang. Penggalan dari berita tersebut menggambarkan pemerintah keteteran setelah serangan secara masif oleh produk-produk pertanian sayur dan buah impor, jelas pemerintah sebenarnya belum mampu untuk melindungi petani-petani dalam negeri, faktanya sebenarnya kualitas hasil pertanian indonesia tidak kalah dari pertanian impor tetapi pemerintah tampak lamban untuk memproteksi dan baru sadar ketika hasil pertanian sayur dan buah diserang oleh hasil pertanian impor, alasannya masih klasik yaitu produk pertanian lokal belum mampu bersaing dengan produk pertanian impor. Hal ini diakibatkan oleh tidak ada jaminannya dari pemerintah untuk memproteksi pertanian lokal terhadap serangan pertanian impor, dampaknya petani banyak yang mengalihkan lahan pertanian ke lahan nonpertanian, petani kehilangan mata pencarian dan putus asa karena hasil pertaniannya tidak dihargai dengan rasional ekonomi, serta semakin membabi butanya impor pertanian yang dilakukan oleh pemerintah.
Intinya, Pasar pangan amat besar yang kita miliki diincar oleh produsen pangan luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan. Indonesia target pasar empuk kapitalis melalui neoliberalisme regulasi.
***

Referensi
Hancock, Graham. 2005. “Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan”. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Fakih, Mansour. 2011. “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Todaro, Michael P. 2000. “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Jakarta : Erlangga.
Harian Kompas edisi Kamis 3 November 2011.

Kampus “Jadi Arena Pamer Merek Bukan Lagi Arena Adu Intelektual”

Kampus seharusnya menjadi tempat bagi mahasiswa untuk beradu intelektual dalam rangka memajukan bangsa tetapi itu hanya sebuah kiasan yang miris, terbukti tidak semua kampus sekarang sebagai sarang kaum intelek, tetapi menjadi arena ajang pamer merek. Mungkin ini bukan gambaran dari semua kampus yang ada di tanah air, tetapi ini mungkin ada dan terjadi di sekitar kita atau malah kita yang menjadi aktor pamer merek itu. Tak pelak kampus hanya sebagai arena untuk menunjukkan siapa yang kaya dan siapa yang miskin bukan siapa yang berkapasitas dengan intelektualnya.
Kehidupan kampus tidak pernah lepas dengan gaya hidup mahasiswanya, gaya hidup yang hanya memuja dari sebuah merek yang dipakai, gaya hidup yang hanya syarat akan simbolis dari manifestasi kekayaan harta orang tua, dan gaya hidup penuh pamer dengan nilai tukar sosialnya, apa maksudnya dengan gaya hidup pamer syarat dengan nilai tukar sosialnya?? Kebanyakan mahasiswa sekarang syarat dengan gaya pakaian fashion mahal, mobil mahal, gadget canggih dan laptop canggih bin mahal. Itu semua hanya sebagai ajang untuk mengaktualisasikan eksistensinya di lingkungan sosial termasuk di lingkungan kampus, agar diakui sebagai mahasiswa yang tidak ketinggalan jaman atau jadul. Merek-merek yang melekat secara abstrak telah memberikan sinyal simbol (Status, kelas dan prestise) dari kalangan mana kita berada, tongkrongan dengan mobil mewah dan pakaian merek luar, jelas itu menunjukkan dari kalangan atas alias orang kaya raya, dari hal itu makna simbol yang melekat dari mereka menunjukkan nilai tukar sosial, nilai yang menunjukkan dari secara status sosial antara si kaya dan si miskin.
Namun gaya hidup yang ada di kampus tidak terlepas dari lingkungan kampus yang melegitimasi dari nilai-nilai tukar sosial itu, seperti halnya Dosen yang mengajar pun tidak ingin ketinggalan dengan gaya hidup konsumsi merek sehingga mahasiswa pun kadang kala mendapatkan contoh dari yang menjadi panutannya. Sebenarnya kita sebagai konsumen merek sering kali terbuai dengan iklan-iklan yang di kemas oleh kaum korporat untuk tidak hanya sebagai barang dengan nilai guna tetapi telah mensulapnya dengan nilai tukar sosial syarat makna.
Gaya hidup pamer merek itu tidak terlepas dari pola hidup yang konsumtif, misalnya kebutuhan gadget haruslah disesuaikan dengan skala keuangan yang lebih bijaksana dan rasional, bukan atas pilihan gaya, trend, dan sebagainya. Kemudian kebutuhan pakaian dan fashion umumnya, dapat dipenuhi dengan pakaian yang cukup melindungi tubuh dan sesuai dengan selera uang, bukan nafsu berpakaian yang disandarkan pada manisnya bujuk rayu iklan. Sebenarnya kita merasakan dan terlebih mungkin kita adalah aktor yang terus mereproduksi gaya hidup pamer merek sehingga semakin kentara perbedaan antara si kaya dan si miskin, maka hal itu menjadi sebuah batu sandungan dari beberapa mahasiswa yang kurang beruntung, ingin menuntut eksistensi jati dirinya di lingkungan yang penuh dengan gaya hidup pamer melalui klepto atau mencuri.
Sebenarnya gaya hidup yang demikian adalah gaya hidup yang menonjolkan pemborosan, betapa tidak sering kali kita tertawa riang dengan apa yang kita pakai tanpa melihat raut sedih dan pahit bagi mereka yang tidak mampu, jelas ini menunjukkan strata kelas sosial yang tajam. Kampus seharusnya menjadi ajang arena bagi mahasiswa untuk menunjukkan kapasitas intelektualnya bukan sebagai arena pamer merek, namun apa yang mau dikata, itu benar-benar terjadi. Kampus seharusnya menjadi tempat bagi kaum intelektualnya menunjukkan kesederhanaan serta kebijaksanaan ibarat pepatah “semakin berisi padi semakin merunduk”, artinya kampus sebagai sarang bagi kaum yang terdidik yang senantiasa dengan kesederhanaan menjadi garda depan untuk pembangunan terlebih menjadi lokomotif masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, tidak menjadi tempat untuk menunjukkan siapa yang kaya dan siapa yang miskin.
Tetapi apa yang diharapkan kadang kala berbeda dengan yang ada di kenyataan, korporat-korporat melalui kekuatan iklan yang penuh dengan tipu daya itu selalu memberikan motivasi lebih dari barang yang di tawarkan, seperti halnya Menurut Mike Featherstone, dalam perspektif teori produksi konsumsi dipremiskan dengan ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya materi dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Akumulasi barang telah mengakibatkan kemenangan nilai tukar (exchange value) terhadap nilai guna (use value) dari suatu benda sehingga pada intinya ketika dominasi nilai tukar menghapus ingatan tentang nilai guna dari suatu benda, maka komoditas menjadi bebas mengambil nilai guna sekunder atau nilai guna semu. Dengan demikian, komoditas bebas mengambil berbagai macam asosiasi dan ilusi budaya, periklanan secara khusus mampu mengeksplotasi kondisi ini dan memberikan image-image percintaan, nafsu gaya hidup mewah, kecantikan, dan pemenuhan kebutuhan lainnya.
Prinsipnya kebutuhan konsumen tidak terbatas dan tidak pernah terpuaskan, dalam hal ini, pengalaman aktor (mahasiswa pamer merek) erat kaitannya dengan gaya hidup yang konsumtif. Gaya hidup yang dapat dikategorikan sebagai gaya hidup yang hanya memuja kesenangan diatas penderitaan orang-orang yang tidak mampu. Namun itulah sebuah kisah nyata dari dinamika kehidupan di sekitar kita, kita tidak dapat mengelak dan bersembunyi, atau mungkin kita menjadi salah satu dari manusia “makan merek” itu. Dan lebih di pertegas lagi, kampus bukan menjadi ajang panggung untuk menunjukkan siapa yang kaya dan siapa yang miskin, tetapi kampus harusnya menjadi ajang tempat bertarungnya intelektual-intelektual muda guna membangun bangsa.
Dengan demikian, kita sebagai bagian dari dunia kampus, khususnya mahasiswa, jangan seringkali kita mendahulukan nafsu gaya hidup yang konsumtif tetapi kita harus mengedepankan rasional hidup, karena hidup bukan untuk ajang pamer simbol tetapi hidup untuk berbuat yang lebih baik, jangan lagi kampus dijadikan tempat untuk melihat pamer status, prestise dan kelas sosial. Kita harus sadar bahwa masih banyak di sekitar kita yang hidup dengan penderitaan ekonomi, jangan lagi kita budayakan gaya hidup yang hanya pamer merek tetapi buatlah hidup ini lebih bermakna untuk orang lain. kampus harus menjadi tempat yang benar-benar mengedepankan kesederhanaan dari kaum intelektual bangsa yang mapan.

Jumat, 02 Desember 2011

GERAKAN ANTI WALLSTREET, AWAL KERUNTUHAN KAPITALISME

I. Latar Belakang
Gerakan mereka ini dinamai „Occupy Wall Street‟ (OWS). Istilah yang awalnya dikenalkan oleh sebuah majalah di Canada, terbitan Adbusters Media Foundation. Sebuah organisasi non-profit yang mengkampanyekan anti-konsumerisme dan pro lingkungan hidup, yang awal Juli lalu mendorong pengikutnya untuk menduduki kawasan Wall Street (occupy Wall Street). Meski demikian para pemrotes tak hirau dengan julukan ini, mereka lebih peduli dengan apa yang mereka suarakan, mereka perjuangkan. Apa yang mereka protes? Intinya, mereka protes terhadap keadaan, kondisi ekonomi AS yang membuat mereka semakin sengsara saat ini. Keadaan yang menurut penilaian mereka akibat sistem ekonomi, dengan tulang punggung sistem keuangan yang berjalan di AS. Sistem kapitalis yang dinilai terbukti rapuh sejak pertengahan September 2008 dan memicu krisis global, yang akibatnya masih terasa sampai hari ini. Masing-masing menyampaikan protes terhadap sistem, baik ekonomi maupun pasar keuangan yang dijalankan di AS dan menjadi panutan di banyak negara di dunia. Mereka juga protes dengan sistem industri perumahan, jaminan kesehatan dan jaminan sosial yang ada. Mereka bersatu, meski dengan artikulasi kekecewaan yang beragam dari sudut pandang masing-masing, karena merasa senasib, merasa sama-sama terpinggirkan. Di mata para pendemo, sistem ekonomi dan politik di AS terbukti terlalu berpihak pada si kaya, sang pemilik modal dan perusahaan, yang meski memang berperanan menciptakan lapangan kerja, namun terlalu tamak, rakus (http://luar-negeri.kompasiana.com/mendobrak-kapitalisme-di-jantungnya diakses tanggal 10 oktober 2011).
Disisi lain, berita mengenai gerakan anti wallstreet, Media seperti Voice of America (VoA) mencatat, setidaknya massa demonstran di beberapa negara seperti Inggris, Spanyol, Prancis, Australia, Jepang, Korsel, Hong Kong, Taiwan, dan Filipina, melakukan hal yang sama yakni menolak kebijakan Wall Street dan perusahaan besar global yang berpihak pada kepentingan kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang. Wallstreet merupakan pusat keuangan yang berbasis di Jalan Wall Street, apa yang kemudian dikenal sebagai gedung permanen Wall Street, yang merupakan New York Stock Exchange. Banyak sekali bursa perdagangan saham dan bursa perdagangan lainnya berkantor pusat di Wall Street dan di Distrik Keuangan (Financial District) termasuk NYSE, NASDAQ, AMEX, NYMEX, dan NYBOT (http://berita24.net/gerakan-anti-wall-street/diakses 18 oktober 2011).
Kapitalisme dan korporasi global ditengarai telah menyebabkan kemiskinan di dunia. Bahkan menurut buku Die Globalisierungsfalle yang ditulis Hans Peter dan Harald Schumann (2002) telah terjadi suatu fenomena sosial yang diistilahkan dengan masyarakat 20:80, di mana 20 persen dari penduduk bumi ini sesungguhnya sudah cukup untuk mengendalikan dan menjaga terus berputarnya roda perekonomian dunia, sementara sisa 80 persen adalah mereka yang “tanpa pekerjaan”, menjadi “sampah sosial”, tak lebih merupakan “buih” yang takdir hidupnya dikendalikan oleh berputarnya ekonomi dunia. Akibatnya berjuta-juta penganggur, ketidakpastian pekerjaan secara besar-besaran, suatu jurang yang makin melebar antara yang dibayar rendah dan yang berkecukupan (http://berita24.net/gerakan-anti-wall-street/diakses 18 oktober 2011).
Kapitalisme, misalnya, lewat para arsiteknya telah membuat aturan main tersendiri apa yang dikenal sebagai free enterprises, juga ada WTO, IMF, World Bank, demokrasi liberal, freedom expression dan seterusnya. Semua negara dipaksa harus ikut dalam aturan main itu serta harus tunduk di dalamnya, jika menyalahinya akan dikenakan sanksi embargo dan semacamnya. Akan sulit suatu negara jika tak mengikuti aturan-aturan global itu meskipun di sisi lain, misalnya, negara itu tahu bahwa itu tak lebih merupakan jebakan-jebakan global.
Gerakan anti wallstreet yang terjadi merupakan gerakan perlawanan terhadap mekanisme ekonomi pasar yang tidak mensejahterakan rakyat, dan malah sebagai lintah penghisap rakyat, di mana pengangguran, kemiskinan, dan masalah sosial lainnya muncul akibat dari ekonomi yang hanya dikuasai oleh segelintir orang atau pemilik modal. Dan apakah gerakan ini muncul atas ketidakpuasaan dari sistem ekonomi yang dianut negara adidaya Amerika sebagai sistem ekonomi yang tepat dan atau malah gerakan ini sebagai awal keruntuhan sistem kapitalis yang benar-benar tidak mensejahterakan rakyat.
II. Rumusan Masalah
Kapitalisme dan korporasi global sebagai sebuah knowledge mengutip istilah Michel Foucault (1997) yang diciptakan itu memiliki kepentingan atau bahkan kerakusan. Dalam kapitalisme, persaingan tidak sehat ketika usaha yang tak diinvestasi secara besar-besaran lalu akan mengalami kolaps memang merupakan gambaran yang telanjang di era globalisasi. Di dalamnya, pasar merupakan segala-galanya dan mereka yang mengendalikan adalah para pemodal yang memiliki investasi dalam jumlah besar, yang kemudian disebut para kapitalis. Kebijakan para pemilik modal yang hanya menguntungkan pribadi dan meniadakan apa yang seharusnya menjadi hak publik.
Sebagaimana dengan gerakan wallstreet yang anti akan kapitalisme dan korporasi global akibat dari kesenjangan ekonomi yang ekstrim yang lebih keberpihakan kepada pemilik modal atau segelintir orang menjadi indikasi bahwasanya sistem ekonomi kapitalis yang membuat negara-negara seperti Amerika keteteran tidak dapat menyelesaikan permasalahan krisis ekonomi yang berdampak global. Dengan demikian, uraian diatas jelas sebagai indikasi ketidakberdayaan sistem ekonomi kapitalis di era globalisasi menghadapi tantangan ekonomi saat ini, dan apakah gerakan anti wallstreet atau occupy wallstreet sebagai awal dari keruntuhan sistem ekonomi kapitalisme dan dampaknya bagi masyarakat negara berkembang??

II.1 Kemunculan Gerakan Occupy Wallstreet
Aksi demonstrasi anti Wall Street yang menggeliat sejak awal Oktober di New York kini mulai meluas ke Eropa. Di Amerika, awalnya hanya dihadiri ratusan demonstran yang umumnya mahasiswa. Dipicu oleh krisis ekonomi, dan keresahan atas ketamakan korporasi serta korupsi para elit bisnis, aksi itu kian membesar dari hari ke hari. Puluhan ribu orang lainnya juga berkumpul di berbagai kota lain di penjuru dunia. Mereka juga menentang praktik serakah korporasi, dan peran Wall Street dalam krisis keuangan. Selain New York, sejumlah kota lain adalah Madrid, London, Roma, Frankfurt, Sydney, dan Hongkong. Di London, Inggris, lebih dari 2.000 demonstran berkumpul di depan Katederal St Paul. Dalam aksi demonstrasi yang dihadiri pendiri Wikileaks Julian Assange. Para demonstran mengutuk sistem ekonomi dan perbankan Inggris yang dianggap memberi celah bagi perilaku korupsi (Galih 2011).
a. Kaum ’99 Persen’
Makin meluasnya "Gerakan Kuasai Wall Street" juga disebabkan oleh kampanye masif di internet. Awalnya, gerakan ini menggalang dukungan lewat internet, dengan mengumpulkan sejumlah cerita keluhan tentang kesulitan keuangan akibat krisis. Massa yang menamakan diri 'Kelompok 99 Persen' ini mengumpulkan warga yang menuliskan keluh kesahnya dalam selembar kertas, lalu dipublikasi di laman wearethe99percent.tumblr.com. Angka 99 persen itu adalah representasi jumlah warga negara AS yang susah akibat ulah miliuner, yang hanya berjumlah 1 persen. Selain itu, yang juga dianggap masuk kelompok 1 persen adalah para politisi, pengusaha, dan pemimpin korporasi. Aksi sebagian besar dilakukan mahasiswa ini mengklaim sebagai pergerakan tanpa pemimpin. Anggotanya terdiri dari masyarakat berbagai macam warna, jenis kelamin dan haluan politik, kanan atau kiri. Isu yang dibawa adalah isu populer, dan langsung menyentuh kehidupan masyarakat Amerika Serikat. Secara perlahan aksi ini meraih simpati dan semakin membesar. "Para anak muda ini berbicara mewakili kebanyakan warga Amerika yang frustasi terhadap para bankir dan broker yang mengambil untung dari hasil kerja keras mereka," kata Larry Hanley, presiden Serikat Pekerja Transit, ketika ditanya alasan keikutsertaan dalam aksi demonstrasi itu. "Ketika kita banting tulang setiap hari, setiap bulan, para jutawan dan miliuner di Wall Street hanya duduk diam, dan tak tersentuh. Mereka menceramahi kami bagaimana meningkatkan kerja," ujar Hanley, pemimpin serikat yang beranggotakan 20.000 orang ini. Gerakan Kuasai Wall Street adalah aksi protes atas sejumlah kebijakan pemerintah dan Bank Sentral AS (Galih 2011).
b. Politis
Kebijakan keuangan yang diambil selama ini dianggap memihak golongan 1 persen, ketimbang kesejahteraan masyarakat. Salah satu yang diprotes, adalah kebijakan bail out oleh Bank Sentral untuk menyelamatkan sejumlah korporasi besar. Aksi Gerakan Kuasai Wall Street pun kemudian bernuansa politis ketika salah satu kandidat Presiden AS asal Partai Republik Herman Cain menuduh gerakan itu anti-kapitalis. Cain bahkan juga menuding gerakan ini adalah pengalihan isu atas sejumlah kebijakan gagal dari pemerintahan Obama. "Jangan salahkan Wall Street, jangan salahkan bank-bank besar. Jika Anda tidak punya pekerjaan, jika Anda tidak kaya, salahkan diri Anda sendiri," ujar Cain. "Kami adalah 99 persen. Kami yang diusir dari rumah. Kami yang dipaksa memilih antara membeli makanan atau membayar tagihan. Kami yang ditolak oleh layanan kesehatan berkualitas. Kami yang menderita akibat polusi lingkungan. Kami yang dipaksa bekerja berlebihan tapi dibayar rendah. Kami tidak mendapatkan apa-apa, sementara kaum satu persen mendapatkan semuanya," tulis situs itu (Galih 2011).
II.2 Kapitalisme dan Globalisasi
Fakih (2002) Pandangan kapitalisme jika digali secara teoretik, pada dasarnya bersumber dan berakar pada pandangan filsafat ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith yang dituangkan dalam karyanya wealth of nation (1776). Selain Adam Smith, yang umumnya disebut sebagai tokoh perintis pandangan ekonomi klasik adalah dua pemikir ekonomi lainnya yakni David Ricardo dan James Mill. Keseluruhan filsafat pemikiran penganut ekonomi klasik tersebut dibangun diatas landasan filsafat ekonomi liberalisme. Mereka percaya pada kebebasan individu (personal liberty), pemilikan pribadi (private property) dan inisiatif individu serta usaha swasta (private enterprise).
Menurut Baswir (2009) kapitalisme sekarang menjelma menjadi neoliberalisme, neoliberalisme adalah bentuk penyempurnaan dari paham ekonomi pasar liberal, sebagai salah satu naungan kapitalisme, yaitu terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynesianisme, neoliberalisme, neokeynesianisme, dan neomerkantilisme. Inti dari ekonomi pasar neoliberalisme adalah (1) tujuan ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penertiban undang-undang, neoliberalisme pada dasarnya sangat memuliakan mekanisme pasar, campur tangan negara dalam bidang perekonomian walaupun diakui diperlukan, harus dibatasi hanya sebagai penertib bekerjanya mekanisme pasar. Menurut Stiglitz (Dikutip Baswir 2009) bahaya neoliberalisme terletak pada pemujaannya yang sangat berlebihan terhadap peranan pasar. Bagi Stiglitz, pasar hanyalah salah satu alat, bukan satu-satunya alat, untuk mencapai tujuan perekonomian. Sebab itu, menjadikan pasar sebagai satu-satunya alat, lebih-lebih memujannya sebagai tujuan itu sendiri, sama artinya dengan memorakporandakan fondasi integrasi sosial dan menjerumuskan masyarakat ke lembah kehancuran.
Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbukanya dan menglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan dengan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas global. Menurut Fakih (2002) istilah globalisasi sesungguhnya secara sederhana dipahami sebagai suatu proses pengintregrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global. Namun, jika ditinjau dari sejarah perkembangan ekonomi, globalisasi pada dasarnya merupakan salah satu fase perjalanan panjang perkembangan kapitalisme liberal, yang secara teoritis sebenarnya telah dikembangkan oleh Adam Smith. Meskipun globalisasi dikampanyekan sebagai era masa depan, yakni suatu era yang menjanjikan ‘pertumbuhan’ ekonomi secara global dan akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua, globalisasi sesungguhnya adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya.
Istilah globalisasi menurut para ilmuwan terbagi menjadi tiga kelompok, menurut para pendukung hiperglobalisasi, globalisasi didefinisikan sebagai sejarah baru kehidupan manusia di mana “negara tradisional telah menjadi tidak lagi relevan, lebih-lebih tidak mungkin menjadi unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global, mereka melihat globalisasi ekonomi akan membawa serta gejala “denasionalisasi” ekonomi melalui pembentukan jaringan-jaringan produksi transnasional, perdagangan dan keuangan. Kelompok kedua adalah kelompok skeptis, tesis utamanya adalah globalisasi bukanlah merupakan fenomena yang sama sekali baru, tetapi mempunyai akar sejarah yang panjang. Kelompok ini melihat bahwa kekuatan-kekuatan global itu sendiri sangat bergantung pada kekuatan yang mengatur dari pemerintahan nasional untuk menjamin liberalisasi ekonomi terus berlanjut, di mana konsepsi globalisasi menurut kelompok hiperglobalis pada dasarnya hanya dilebih-lebihkan dan kaum skeptis justru menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan memarginalkan negara-negara Dunia ketiga karena perdagangan dan investasi hanya mengalir di kalangan negara-negara industri maju dan kaya. Kelompok ketiga adalah transformasionalis, inti pandangan kelompok ini adalah adanya keyakinan bahwa pada permulaan milineum baru, globalisasi adalah kekuatan utama di balik perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik yang tengah menentukan kembali masyarakat modern dan tatanan dunia (world order) (Winarno 2007).
II.3 Keruntuhan Kapitalisme
Isu adanya pendudukan bursa saham ternama di Amerika yang sering santer didengar dengan Occupy Wallstreet yang merupakan tempat di mana korporasi-korporasi besar memainkan setiap lembar saham keuangan perusahaan guna memperoleh laba yang sangat besar seperti NYSE, NASDAQ, AMEX, NYMEX, dan NYBOT. Gerakan Occupy Wallstreet dipicu oleh krisis ekonomi, dan keresahan atas ketamakan korporasi serta korupsi para elit bisnis, gerakan ini juga menentang praktik serakah korporasi, dan peran Wall Street dalam krisis keuangan. Kekhawatiran khususnya warga Amerika yang frustasi terhadap para bankir dan broker yang mengambil untung dari hasil kerja keras mereka, sebuah kutipan wawancara media online "Ketika kita banting tulang setiap hari, setiap bulan, para jutawan dan miliuner di Wall Street hanya duduk diam, dan tak tersentuh. Mereka menceramahi kami bagaimana meningkatkan kerja," ujar Hanley, pemimpin serikat. Mewakilkan sebuah opini dari pendemo yang gusar akan sistem ekonomi kapitalisme yang hanya mengutungkan segelintir elit pemodal dan menguras habis isi dari apa yang dikerjakan oleh masyarakat luas di Amerika. Ini jelas bertentangan dengan semangat kapitalis yang mengedepankan efisiensi pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar, namun titik tolaknya adalah ternyata kebebasan individu yang ada ternyata hanya dimiliki segelintir elit pemodal besar yang akibatnya hanya menguntungkan beberapa pihak, sejalan dengan yang diungkapkan oleh Stiglitz (Dikutip Baswir 2009) bahaya neoliberalisme atau kapitalis terletak pada pemujaannya yang sangat berlebihan terhadap peranan pasar. Bagi Stiglitz, pasar hanyalah salah satu alat, bukan satu-satunya alat, untuk mencapai tujuan perekonomian. Sebab itu, menjadikan pasar sebagai satu-satunya alat, lebih-lebih memujanya sebagai tujuan itu sendiri, sama artinya dengan memorakporandakan fondasi integrasi sosial dan menjerumuskan masyarakat ke lembah kehancuran yang lebih ekstrimnya adalah kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial ekonomi. Ini menjadi langkah awal bahwasanya ekonomi kapitalis yang terbungkus di wall street telah memunculkan suatu gerakan akan ketidak puasaan warga Amerika terhadap sistem ekonomi Amerika yang memuja kapitalisme.
Petikan kekecewaan juga disampaikan oleh kelompok Occupy wallstreet yang menamakan kelompok 99 persen:
"Kami adalah 99 persen. Kami yang diusir dari rumah. Kami yang dipaksa memilih antara membeli makanan atau membayar tagihan. Kami yang ditolak oleh layanan kesehatan berkualitas. Kami yang menderita akibat polusi lingkungan. Kami yang dipaksa bekerja berlebihan tapi dibayar rendah. Kami tidak mendapatkan apa-apa, sementara kaum satu persen mendapatkan semuanya," (Galih 2011).
Dari kutipan itu juga sebenarnya apa yang dirasakan oleh masyarakat di Amerika merupakan akibat dari korporasi kapitalis yang memeras tiada ampun yang dilakukan oleh kelompok satu persen atau pemilik modal, jelas bahwasanya kapitalis yang mengagungkan pengakuan kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi, jelas-jelas membuat gambaran betapa semakin termarginalnya orang-orang yang menjadi miskin di Amerika yang tidak mampu lagi membayar tagihan kredit akibat bunga tinggi yang ditetapkan melalui mekanisme pasar saham di wallstreet.
Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbukanya dan menglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan dengan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas global. Jelas bahwasanya ini mematahkan globalisasi yang dikampanyekan sebagai era masa depan, yakni suatu era yang menjanjikan ‘pertumbuhan’ ekonomi secara global dan akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua, namun kenyataannya globalisasi sesungguhnya adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya. Globalisasi disini menjadi awal bahwasanya sebagai keruntuhan, krisis dan kejatuhan dari kapitalisme, itu tergambar jelas dari adanya gerakan anti wall street yang sudah hampir menjalar ke seluruh dunia.
Sejalan dengan pemikiran Stiglitz (2007) bahwa globalisasi digunakan sebagai alat untuk mengembangkan versi ekonomi pasar (kapitalis) yang lebih ekstrem, dan lebih fokus pada kepentingan-kepentingan korporasi tertentu. Pemikiran ini jelas menjadi sebuah indikasi pendukung terjadinya gerakan anti wallstreet. Aturan main globalisasi tidak adil dan hanya dirancang khusus untuk menguntungkan korporasi-korporasi kapitalis besar sehingga membuat semakin meluasnya kemiskinan dan pengangguran, apa yang terjadi di antara pendemo anti wallstreet, benar dirasakan dan dialami oleh masyarakat Amerika.
II.4 Implikasi bagi Negara Berkembang
Jika melihat yang terjadi di Amerika dengan gerakannya occupy wallstreet, gerakan yang muncul atas respon dari krisis ekonomi, dan keresahan atas ketamakan korporasi serta korupsi para elit bisnis, gerakan ini juga menentang praktik serakah korporasi, dan peran Wall Street dalam krisis keuangan. Ditambah lagi dengan globalisasi yang dicanangkan hanya menguntungkan korporasi-korporasi kapitalis, jelas menjadi senjata makan tuan sendiri dari Amerika yang sebagai negara adidaya super power dan kuat dengan ekonomi yang menganut sistem kapitalis, sekarang keteteran dalam menghadapi krisis yang melanda Amerika akibat dari kapitalis yang hanya menguntungkan segelintir elit pemilik modal.
Namun jika kita bandingkan dengan Indonesia, sebagai negara dengan basis ekonomi yang rapuh dan tergolong sebagai negara berkembang, apakah dampak seperti gerakan anti wallstreet akan muncul dengan versinya Indonesia, jelas secara tidak langsung krisis ekonomi di Amerika tidak berdampak secara signifikan terhadap Indonesia, namun tidak menutup kemungkinan bahwa cikal bakal dari gerakan anti wallstreet Amerika dapat mengilhami gerakan yang serupa di Indonesia misalnya gerakan anti Bursa Efek Indonesia. Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, hal yang paling jitu dan terjadi saat ini adalah bahaya liberalisasi keuangan.
Menurut McKinnon (1973) (dikutip oleh Baswir 2009) tujuan dari liberalisasi keuangan adalah untuk meningkatkan peranan pasar dan mengurangi peranan negara dalam penyelenggaran jasa-jasa keuangan. Secara terinci liberalisasi keuangan menurut Singh (2000) (dikutip oleh Baswir 2009 ) mencakup enam aspek. Pertama, deregulasi bunga. Kedua, peniadaan pengendalian kredit. Ketiga, privatisasi bank-bank dan lembaga keuangan milik negar. Keempat, peniadaan hambatan bagi bank-bank asing memasuki pasar keuangan domestik. Kelima, pengenalan alat-alat pengendalian moneter berbasis pasar dan keenam, liberalisasi neraca modal. Artinya jika dilihat berdasarkan keempat agenda konsensus Washinton, liberalisasi keuangan tidak hanya mencakup kebijakan anggaran ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan,dan mencakup pelaksanaan privatisasi BUMN. Intinya, sebagai unsur dari agenda liberalisasi ekonomi yang bersifat menyeluruh, tujuan akhir liberalisasi keuangan pada dasarnya adalah untuk mempercepat integrasi perekonomian negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem perekonomian pasar global berdasarkan kapitalisme. Maka mungkin yang terjadi di Amerika dengan occupy wallstreet-nya dapat terjadi di Indonesia yang sedang mengikuti arus globalisasi melalui liberalisasi keuangan, dan tak pelak pergerakan seperti di Amerika akan terjadi juga di Indonesia.
Seperti yang dikemukakan oleh Stiglitz (2007) mengenai globalisasi, pengelolaan mengenai globalisasi telah mencabut sebagian besar kedaulatan negara berkembang, termasuk kemampuan membuat keputusan strategis di bidang-bidang penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan akhirnya memperlemah demokrasi, melalui globalisasi seringkali sistem ekonomi yang dipaksakan pada negara-negara berkembang, globalisasi seharusnya bukan merupakan Amerikanisasi dalam hal kebijakan ekonomi dan budaya, tetapi memang hal itulah yang sering terjadi dan menimbulkan kemarahan. Mereka yang berada di negara-negara berkembang bahkan mengeluh hal-hal mengenai globalisasi, di mana globalisasi digunakan sebagai alat untuk mengembangkan versi ekonomi pasar yang lebih ekstrem dan lebih fokus pada kepentingan-kepentingan korporasi tertentu. Dan itulah yang sekarang melanda di Indonesia bahwa negara kita dikuasai oleh kepentingan-kepentingan korporasi kapitalis.

KESIMPULAN

Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbukanya dan menglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan dengan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas global. Jelas bahwasanya ini mematahkan globalisasi yang dikampanyekan sebagai era masa depan, yakni suatu era yang menjanjikan ‘pertumbuhan’ ekonomi secara global dan akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua, namun kenyataannya globalisasi sesungguhnya adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya. Globalisasi disini menjadi awal bahwasanya sebagai keruntuhan, krisis dan kejatuhan dari kapitalisme, itu tergambar jelas dari adanya gerakan anti wall street yang sudah hampir menjalar ke seluruh dunia.
Implikasinya bagi negara berkembang seperti Indonesia sebagai negara dengan basis ekonomi yang rapuh dan tergolong sebagai negara berkembang, dengan adanya gerak kapitalisme dalam ekonomi pasar bebas di era globalisasi, Indonesia menjadi korban misalnya perusahaan minyak Gurem Pertamina harus bertarung bebas di pasar global melawan raksasa seperti ExxonMobil, apalagi melalui UU migas yang sangat liberal, kekuatan pertamina digunting drastis baik sektor hulu maupun hilirnya. Maka jika Indonesia akan dikuasai oleh korporasi kapitalis, intervensi negara hanya sebagai regulator tidak mampu menahan arus gelombang kapitalis semua harus berdasarkan mekanisme pasar, seperti hak publik dicabut melalui subsidi BBM, kesehatan bagi orang miskin, dan pendidikan negeri di privatkan, maka tak pelak isu kemiskinan, dan pengangguran akan mungkin terjadi secara masif dan menyebabkan krisis yang pada akhirnya akan ada gerakan peralawanan anti korporasi kapitalis seperti occupy wallstreet di Amerika.